Dari konflik tersebut diatas, saya akan membahas konflik agraria yang biasa muncul di sektor perkebunan kelapa sawit dan bagaimana strategi untuk melindungi hak-hak masyarakat sekitar perkebunan.
Umumnya persoalan agraria ini terjadi karena dalam proses pemberian izin konsesi oleh pemerintah kepada investor dilakukan secara tidak “cermat”.
Akibatnya, situasi ini berdampak pada masyarakat setempat yang riskan atas kehilangan haknya.
Mulai dari lahan pertanian, perumahan dan situs-situs penting bagi masyarakat lokal berpeluang besar tidak lagi menjadi hak masyarakat.
Artinya, penerbitan izin konsesi usaha, pemerintah telah abai terhadap kondisi kehidupan masyarakat sosial setempat sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi UUD 1945 dan UUPA No.5 Tahun 1960.
Perlu diketahui, konsesi HGU perusahaan perkebunan sudah dikantongi oleh pemilik usaha, investor tersebut memiliki hak mutlak untuk beroperasi sesuai jangka waktu yang ditetapkan.
Hak Guna Usaha ( HGU ) merupakan salah satu hak atas tanah, yang memberikan pemegangnya hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu maksimal 35 tahun dan diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun, serta dapat diperbarui untuk jangka waktu maksimal 35 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.
Meskipun masyarakat yang menduduki atau menguasai lahan tersebut sudah puluhan atau ratusan tahun secara turun temurun, namun karena masyarakat tidak memiliki bukti kepemilikan tertulis, maka hal itu dianggap tidak pernah ada.
Harus diakui, bahwa pemberian izin konsesi perkebunan kelapa sawit oleh pemerintah kepada investor bertujuan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dimana usaha itu berada.
Keberadaan industri perkebunan tersebut juga memberi peluang bagi masyarakat sekitar untuk mendapatkan lapangan pekerjaan.
Namun, pemerintah tidak boleh mengabaikan hak-hak masyarakat setempat, karena hal ini dapat memicu konflik sosial yang justru dapat mengganggu aktivitas operasional industri tersebut.
Lemahnya Bukti Kepemilikan Masyarakat Secara Tertulis
Meski keberadaan masyarakat sudah puluhan dan bahkan ratusan tahun secara turun temurun dalam suatu wilayah dimana investasi itu berada, akan tetapi dalam hal pembuktian masyarakat cenderung berada dalam posisi yang lemah dalam hal pengakuan hak. Karena dalam proses pembuktian, bukti surat (tulisan) merupakan salah satu bukti yang utama dalam proses pembuktian.
Ketika masyarakat mengalami situasi ini, masyarakat terkesan tidak ada pilihan untuk tidak bersikap “keras” berhadapan dengan investor untuk mempertahankan haknya. Mulai dari aksi unjuk rasa yang diwarnai dengan tindakan pemblokiran akses jalan maupun tindakan main hakim sendiri. Akibatnya, beberapa warga masyarakat harus berhadapan dengan kasus pidana penjara atas tindakan yang dilakukan untuk mempertahankan haknya.
Kurangnya pemahaman masyarakat akan dampak sertifikasi HGU kawasan pemukiman dan perladangan justru dimanfaatkan oleh oknum pihak-pihak tertentu. Akibatnya, konsesi Hak Guna Usaha perusahaan meliputi kawasan pemukiman dan perladangan masyarakat. Padahal masyarakat tidak pernah menyerahkan lahan dan kawasan pemukiman tersebut ke pihak perusahaan.
Membuka Tabir Persoalan Program Terpadu Sertifikasi Lahan (PTSL)
Pada saat investor perkebunan kelapa sawit melakukan permohonan izin konsesi HGU di wilayah pemukiman masyarakat, masyarakat belum menyadari bahwa hal ini akan menjadi persoalan penting. Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat mulai sadar bahwa tindakan ini telah merugikan hak sosial masyarakat.
Persoalan ini semakin terbuka lebar pada saat pelaksanaan program pemerintah melalui program sertifikasi tanah masyarakat melalui program terpadu sertifikasi lahan (PTSL) sebagaimana diatur dalam Permen ATR No.12 Tahun 2017 dan Inpres No.2 Tahun 2018. Program ini bertujuan untuk menjamin kepastian hukum atas kepemilikan tanah masyarakat.
Dalam proses pelaksanaan program tersebut, ternyata objek tanah yang diajukan sertifikasi lahan masyarakat menjadi terhenti. Hal ini diakibatkan karena lokasi tanah yang diajukan sertifikasi hak kepemilikan tersebut sudah masuk dalam kawasan HGU perusahaan.
Situasi ini tentu sangat merugikan bagi masyarakat, karena pengakuan atas kehidupan sosial masyarakat yang justru lebih dahulu menduduki wilayah tersebut dari investor menjadi tidak dianggap.
Adapun dampak yang akan dialami masyarakat apabila pemukiman, ladang masyarakat dan fasilitas umum lainnya sudah terbit sertifikat HGU perusahaan adalah :
1. Relokasi Paksa Pemukiman Masyarakat.
Pemegang konsesi HGU berpotensi melakukan relokasi penduduk yang tinggal di dalam HGU mereka. Situasi ini akan mengganggu kehidupan masyarakat setempat dan mengakibatkan kerugian sosial dan ekonomi, serta kehilangan akses terhadap sumber daya alam dan lingkungan yang penting bagi mereka.
2. Hilangnya akses masyarakat ke tanah dan sumber daya alam.
Masyarakat dapat kehilangan akses ke tanah, hutan, sungai dan sumber daya alam lainnya yang merupakan sumber kehidupan dan mata pencaharian mereka. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi dan kehilangan identitas budaya.
3. Gangguan terhadap pemukiman dan kehidupan masyarakat.
Investor sebagai Pemegang hak konsesi dari pemerintah dapat mempengaruhi pemukiman penduduk dan kehidupan masyarakat setempat. Artinya, sewaktu-waktu investor sebagai pemegang hak dapat berpeluang untuk merelokasi pemukiman masyarakat. Selain itu, pembukaan lahan perkebunan, penggunaan pestisida, dan perubahan lingkungan dapat mengganggu kesehatan dan kualitas hidup masyarakat itu sendiri.
4. Kerusakan lingkungan dan hilangnya habitat.
Konversi lahan untuk perkebunan kelapa sawit dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan yang signifikan, termasuk deforestasi, hilangnya habitat satwa liar dan penurunan kualitas air.
Selain ke empat hal diatas, masyarakat juga akan kesulitan dalam melakukan pembangunan dilingkungan desa, misalnya pembangunan fasilitas umum dengan menggunakan dana pemerintah dengan syarat ketersediaan lahan. Apabila lahan yang dipersiapkan untuk lokasi pembangunan tersebut sudah berada dalam kawasan HGU perusahaan, maka pembangunannya tidak dapat dilakukan dan pembangunan tetrsebut dialihkan kewilayah desa lain.
Begitu juga dengan tanah masyarakat yang tidak diserahkan ke pihak perusahaan, ketika masyarakat melakukan sertifikasi atas tanahnya menjadi terhalang, karena lahan tersebut sudah masuk dalam HGU perusahaan.
Melindungi Hak-hak Masyarakat
Pentingnya perlindungan hak-hak masyarakat dalam persoalan ini, perlu melibatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perlakuan yang adil dalam pengelolaan HGU perusahaan. Artinya, realita yang terjadi saat ini adalah bahwa dalam teknis pemberian izin dan penerbitan Hak Guna Usaha kepada perusahaan perkebunan tidak mematuhi peraturan yang berlaku.
Bila kita mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Syarat Pendaftaran Tanah khususnya dalam permohonan HGU, tentunya harus dilakukan pra permohonan HGU mulai dari izin prinsip dari Bupati, AMDAL, IUP dan kesesuaian Makro Rencana Pembangunan dengan RT/RW dari Gubernur maupun izin kesesuaian lahan dari BPN.
Jika Tanah Negara yang tidak terdapat penguasaan pihak lain, dibuktikan dengan pernyataan penguasaan fisik dari pemohon, disaksikan oleh tokoh masyarakat dan diketahui oleh Lurah atau Kepala Desa setempat atau nama lain yang serupa dengan itu.
Jika Tanah Negara yang terdapat penguasaan pihak lain, terlebih dahulu harus diberikan ganti kerugian terhadap penguasaan dan tanam tumbuh atau benda lain yang ada di atasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jika Tanah hak baik kepemilikan perseorangan, badan hukum, maupun kepemilikan bersama melalui pelepasan hak. Kepala Kantor Pertanahan setempat menarik Tanda Bukti Hak, jika Tanda Bukti Hak tidak ada maka dapat meminta bukti kepemilikan lainnya yang sah.
Jika tanah Ulayat harus memperoleh persetujuan tertulis dari Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan untuk dilepaskan menjadi Tanah Negara. Dalam hal di dalam Tanah Ulayat yang telah dilepaskan terdapat areal yang memiliki nilai sosial budaya dan magis-religius bagi Masyarakat Hukum Adat, dikeluarkan dari areal yang dimohon Hak Guna Usaha.
Artinya dalam proses penerbitan HGU harus melibatkan tokoh adat atau tokoh masyarakat yang mengetahui kondisi wilayah tanah yang hendak dimohonkan tersebut. Dimana dalam komposisi Panitia B terdapat unsur Tokoh Masyarakat, Pimpinan Kecamatan dan Pemerintahan Desa. Adapun tugas dari Panitia B ini adalah untuk memeriksa berkas permohonan, pemeriksaan lapangan dan memberikan pendapat atas tinjauan dilapangan. Bila tata syarat ini dipenuhi oleh perusahaan perkebunan, tentu konflik sosial persoalan tanah ini dapat diminimalisir.
Pengaturan tentang Hak Guna Usaha di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Dasar Agraria, yang meliputi diantaranya subyek Hak Guna Usaha, obyek Hak Guna Usaha, jangka waktu Hak Guna Usaha dan hapusnya Hak Guna Usaha. Mengenai tata cara pemberian Hak Guna Usaha oleh pemerintah, diatur dalam Pasal 20 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Langkah Yang Harus Ditempuh
Sebenarnya pengaturan hak-hak masyarakat yang terdapat dalam konteks konflik pertanahan di industri perkebunan sawit sudah diatur dalam UU No.39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan. Dalam aturan ini menegaskan bahwa penyelenggaraan perkebunan dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, menyediakan lapangan kerja dan kesempatan usaha serta memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku. Dalam Inpres No.8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Artinya evaluasi perizinan dan penyelesaian konflik agraria sudah diatur dalam regulasi tersebut.
Selanjutnya mengenai tata cara pemberian Hak Guna Usaha oleh pemerintah, sudah diatur dalam Pasal 20 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Meskipun regulasi ini sudah ada, namun dalam pelaksanaannya masih jauh dari harapan, terlihat dari banyaknya konflik antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan masyarakat lokal masih hingga saat ini.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami hak-hak mereka dengan menggunakan jalur hukum yang tepat untuk melindungi hak-hak tersebut.
Adapun langkah yang dapat diambil oleh masyarakat jika mengalami masalah terkait HGU perusahaan perkebunan ini dapat ditempuh lewat jalur mediasi maupun jalur persidangan:
1. Kumpulkan bukti dan dokumentasi.
Masyarakat perlu mengumpulkan bukti dan dokumentasi yang menunjukkan bahwa mereka adalah pemilik atau pengguna sah dari kawasan perumahan, lahan atau fasilitas umum yang berada dalam HGU perusahaan.
2. Identifikasi hak-hak masyarakat.
Masyarakat perlu memahami hak-hak mereka berdasarkan hukum dan regulasi yang berlaku.
3. Bentuk kelompok atau organisasi masyarakat.
Masyarakat dapat membentuk kelompok atau organisasi yang mewakili kepentingan mereka.
4. Konsultasi dengan ahli hukum.
Masyarakat dapat mencari bantuan dari ahli hukum yang berpengalaman dalam isu-isu tanah dan hak-hak masyarakat.
5. Advokasi dan pengorganisasian masyarakat.
Masyarakat dapat melakukan advokasi dan pengorganisasian untuk meningkatkan kesadaran tentang situasi mereka.
Untuk mengurangi potensi konflik agraria ini, diperlukan upaya kolaboratif antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat setempat. Hal ini penting bagi masyarakat untuk memahami dan melindungi hak-haknya dalam menghadapi konflik pertanahan dalam industri perkebunan kelapa sawit.
Melalui upaya hukum dan advokasi, masyarakat dapat berjuang untuk keadilan dan perlakuan yang adil dalam pengelolaan lahan dan sumber daya alam.
« Prev Post
Next Post »